FOTO SEORANG IBU VIRAL PERJUANGKAN GANJA MEDIS UNTUK ANAKNYA YANG MENGIDAP LUMPUH OTAK ( CEREBRAL PALSY )

Jatengime.com-Jakarta-Kasih ibu sepanjang masa nyata terjadi ketika tetap tegar memperjuangkan nasib anaknya yang sedang menderita penyakit.

Sebuah foto seorang ibu yang membawa papan berisi kalimat “ Tolong anakku butuh ganja medis ” viral di media sosial.

Ganja medis adalah Ganja dan Kanabinoid yang dipakai oleh para dokter kepada para pasien mereka.

Pemakaian ganja sebagai pengobatan tidaklah banyak diuji karena batasan produksi dan kebijakan pemerintah dengan berbagai pertimbangan dan alasan meyatakan sampai saat ini hasil riset klinis resmi dan terbatas yang menguji keamanan serta dampak dari pemakaian ganja untuk mengobati penyakit masih belum bisa diterima.

Foto ibu tegar tersebut bernama Santi Warastuti asal Sleman, Yogyakarta tersebut langsung viral setelah diunggah oleh penyanyi Andien lewat akun Twitter @andienaisyah pada Minggu, 26 Juni 2022.

Andien mencuit dirinya bertemu ibu tersebut bersama suami dan anaknya yang bernama Pika yang sedang mengidap penyakit Cerebral Palsy ( Lumpuh Otak ) di area Jakarta Car Free Day (CFD).

“ Tadi di CFD, ketemu seorang Ibu yang lagi brg anaknya (sepertinya ABK) bawa poster yang menurutku berani banget .. Pas aku deketin beliau nangis …”.

“ Anaknya, Pika, mengidap Cerebral Palsy. Kondisi kelainan otak yg sulit diobati, dan treatment yang paling efektifnya pakai terapi minyak biji ganja/CBD oil…”

Santi melakukan aksi dengan berjalan dari Bundaran Hotel Indonesia (HI) dan berhenti di depan Gedung MK, Jakarta Pusat, dinilai banyak kalangan cukup berani terkait Ganja yang masuk golongan I UU Narkotika tersebut, meminta keadilan ke hakim Mahkamah Konstitusi (MK) agar bisa digunakan untuk keperluan medis.

“ Pika dulu lahir dengan berat badan normal 3,4 kilogram. Kemudian sudah berjalan, sudah sekolah TK. Kemudian saat TK dia mulai sakit, jadi dia muntah-muntah, pingsan di sekolah..” kata Santi.

Awalnya Santi mendengar pengakuan dari temannya yang bernama Dwi yang anaknya mengidap Cerebral palsy diterapi ganja medis dapat membantu meredakan gejala kejang-kejang sampai bisa benar-benar hilang.

“ Anak saya ( Pika ) sejak 2015 sudah konsumsi obat kejang ( bukan Ganja Medis ), sampai sekarang. Saya dengar banyak berita di luar ( negeri ) ganja medis bisa mengurangi dan bahkan ada yang bisa zero kejang. Tapi kan kita enggak bisa karena di sini ( Indonesia ) belum legal. Jadi saya memohon kepada MK agar segera memberikan kepastian kepada kami…” ungkap Santi.

“ Sudah hampir dua tahun, kita mengajukan gugatan pertama itu November 2020 sampai sekarang sudah 2022 belum ada kepastian. Dan untuk ganja medis ini bagi saya urgent karena Pika, anak saya itu masih belum bebas kejang…” ungkapnya.

Namun Santi sadar bahwa ganja medis mungkin tidak bisa membuat Pika sembuh total, tetapi setidaknya dia ingin anaknya mempunyai kualitas hidup yang lebih baik. Santi ingin Pika hidup dengan lebih nyaman tanpa sakit dan lelah karena selalu kejang-kejang.

Teman senasib Pika sudah meninggal dunia akibat penyakit mereka yang tidak bisa terobati, dan Santi tidak mau hal tersebut terjadi kepada anaknya dan anak-anak lainnya.

“ Beberapa minggu ke belakang ada beberapa teman seperjuangan Pika sudah meninggal. Mereka meninggal tanpa sakit, tanpa kondisi drop, jadi ada yang kemungkinan kejang tidak ketahuan orang tuanya, kemudian mereka meninggal…” imbuhnya.

Santi menceritakan pada November 2020 lalu, dirinya bersama dua orang ibu lainnya yang sama-sama mempunyai anak yang mengidap Cerebral Palsy, mengajukan Uji Materi Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Pasal 8 ayat 1 dan penjelasan Pasal 6 ayat 1 huruf A tentang Narkotika ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Dengan alasan medis dan kemanusiaan, MK diminta agar berkenan mengubah bunyi pasal tersebut sehingga ganja dapat digunakan untuk terapi kebutuhan medis.

Namun, setelah melalui 8 kali persidangan, Santi dan kawan-kawan belum mendapatkan putusan yang jelas demi kesembuhan anak-anaknya.

Terakir, sidang permohonan uji materiil terhadap undang-undang tersebut pernah digelar pada Kamis (20/1/2022) dengan agenda “ mendengarkan keterangan ahli Presiden” yakni Guru Besar Farmakologi Universitas Indonesia, Rianto Setiabudy..”.

Rianto dalam keteranganya menyatakan sikap konservatif lebih baik karena manfaat yang ditawarkan belum seimbang dengan risiko yang mungkin timbul karena penggunaan ganja sebagai obat.

“ Menurut hemat saya, ini pertimbangan risiko dan manfaat. Saat ini, kita melihat bahwa indikasi-indikasi yang diklaim dapat diobati dengan Kanabis ( ganja ), untuk itu tersedia banyak pilihan obat lain yang telah dibuktikan aman dan efektif sehingga mendapatkan izin edar…” kata Rianto.

“ Dalam kondisi seperti ini, kita tidak melihat urgensi dalam hal ini ( legalisasi ganja untuk medis). Lebih baik kita lebih konservatif, karena obat ini berpotensi untuk menimbulkan masalah, terutama terkait dampaknya pada masyarakat…” ungkapnya.

Rianto belum sependapat dengan hasil-hasil penelitian yang menunjukkan manfaat ganja untuk keperluan medis. Masih ada beberapa kelemahan dalam studi-studi tersebut, sehingga belum ada data yang cukup kuat untuk dijadikan dasar penggunaan ganja sebagai obat.

“ Adanya bukti ( bahwa suatu zat/ obat efektif mengatasi indikasi penyakit ) bukan merupakan satu-satunya dasar pertimbangan suatu obat bisa diterima. Potensi manfaat selalu harus diimbangi dengan pertimbangan potensi dampak negatifnya seperti apa…” jelasnya.

“ Kalau seimbang, mungkin masih bisa kita terima. Tapi kalau misalnya potensi dampak negatif keamanannya lebih besar, kita terpaksa mengatakan tidak, walaupun bisa dikatakan dia punya efektivitas…” pungkasnya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.