Jatengtime.com-Jakarta-Berawal dari aduan Youtuber Lutfi Agizal yang mengadu ke Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dan Komnas PA dengan laporan kata “ anjay “ dinilai mengandung arti atau makna kasar dan bisa merusak moral bangsa.
Aduan Lutfi tersebut membuat jagat dunia maya geger dikarenakan dengan permintaan Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) kepada publik untuk menghentikan penggunaan kata “ anjay “.
Tak berselang lama, Tagar #AnjayKPAI menjadi di trending twitter Senin (31/8/2020). Menurut versi sepihak Komnas PA kata “ anjay “dalam konteks berbahasa termasuk dalam bentuk kekerasan verbal.
Jika unsur kekerasan dan definisi kekerasan terpenuhi sesuai dengan Undang Undang RI Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak maka orang tersebut bisa berpotensi dipidana.
Ketua Umum Komnas Perlindungan Anak, Arist Merdeka Sirait melarang penggunaan kata “ anjay “ karena harus dipandang dari dua prespektif tempat dan makna yang dapat menimbulkan hujatan yang berujung perundungan atau bullying.
“ Kalau mengandung unsur merendahkan martabat mencederai orang dan menimbulkan kebencian, itu bentuk kekerasan yang dilarang. Karena melanggar UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, itu adalah bentuk kekerasan verbal dan bisa dipidana…” kata Arist.
Perspektif kedua lanjut Arist, yakni kata “ anjay “ diperbolehkan bila digunakan untuk mengekspresikan pujian atau rasa kagum terkait sesuatu, jika terpenuhi kata verbal yang dilontarkan tidak di-latarbelakangi dengan istilah salah satu binatang.
“ Harus dilihat dalam dua perspektif, apakah dia berkonotasi kata anjing misalnya, tetapi kalau istilah anjay satu pujian rasa kagum, tidak unsur fisik binatang yang digantikan kata anjay. Kalau itu ekspresi, itu boleh saja…” terangnya.
Jika KPAI dan Komnas PA mempermasalahkan kata “ Anjay “, banyak netizen yang kemudian mempertanyakan bagaimana dengan kata-kata kasar (walau dalam bahasa daerah tertentu) yang sering diucapkan seseorang dengan untuk mengumpat dengan nada emosi seseorang dan justru sengaja diviralkan melalui media sosial yang sangat mungkin berpotensi dilihat anak-anak, apakah tidak merusak moral anak-anak dan bangsa..?
Penjelasan Ahli Bahasa, Secara gramatikal kata “ anjay “ tidak dapat ditemukan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI).
Ahli Linguistik Forensik, Niknik M. Kuntarto mengatakan kata “ anjay “ tidak dapat ditemukan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI).
Kata “ anjay “ bisa digunakan sebagai kalimat seru atau kalimat yang isinya mengungkapkan perasaan.
“ Jika secara leksikal dan gramatikal tidak mampu menjawab sebuah kata, kita dapat menganalisisnya dengan pragmatis atau bagaimana sebuah kata itu digunakan oleh masyarakat kita…” jelas Niknik.
Untuk memahami maksud, tujuan dan pesan dalam sebuah kata dibutuhkan pemaknaan. Sedangkan pemaknaan yang dimaksud dilalui dengan tiga tahap, yaitu secara :
– Leksikal : Memaknai kata berdasarkan makna yang bersifat tetap dan tidak terikat pada kata lain atau konteks.
– Gramatikal : Makna kata yang diperoleh karena adanya proses seperti afiksasi, reduplikasi, atau perubahan bentuk kata.
– Pragmatis : Aliran filsafat yang mengajarkan bahwa yang benar adalah segala sesuatu yang membuktikan dirinya sebagai yang benar dengan melihat kepada akibat-akibat atau hasilnya yang bermanfaat secara praktis.
Niknik menjabarkan, secara sederhana bisa mengawali dengan pemahaman Leksikal, tidak bisa dipahami, maka akan dapat menaikkan ke tahap selanjutnya yaitu Gramatikal. Dan jika diperlukan pemahaman lebih mendalam, maka gunakan pemaknaan kata secara Pragmatis atau Kontekstual.
Sedangkan Kontekstual atau dikenal dengan istilah Contextual Teaching Learning (CTL) berasal dari kata “ contex “ yang berarti hubungan, kontek, suasana, atau keadaan. Sehingga Contextual diartikan sebagai suatu hubungan dengan suasana (kontek).
Contextual Teaching Learning (CTL) dapat diartikan sebagai suatu pembelajaran yang berhubungan dengan suasana tertentu.
Kata “ anjay “ bisa digunakan sebagai kalimat seru atau kalimat yang isinya mengungkapkan perasaan.
“ Jika secara leksikal dan gramatikal tidak mampu menjawab sebuah kata, kita dapat menganalisisnya dengan pragmatis atau bagaimana sebuah kata itu digunakan oleh masyarakat kita…” kata Niknik.
“ Secara pragmatis, kita bisa melihat dari sisi semantik dan sosiolinguistik. Berdasarkan penggunaan di masyarakat, kata “ anjay “ dapat bermakna positif atau negatif tergantung konteks komunikasi saat digunakan…” jelasnya.
Kata “ anjay “ dilihat dari Sosiolinguistik bisa digunakan sebagai rasa kekaguman pada suatu hal, contohnya “ Gua udah punya cewe loh…! kemudian seseorang mengomentari “ Anjay “ yang bisa berarti “ Waw, keren…! “.
Berdasarkan Sosiolinguistik, kata “ anjay “ juga berarti lambang keakraban yang biasa digunakan oleh anak muda jaman sekarang.
Kata “ anjay “ di sisi lain, dapat bermakna negatif jika makna tersebut dikembalikan kepada (versi kata sepihak) asalnya yakni kata “ anjing “ yang secara Sosiolinguistik mengandung kata penghinaan.
Kata penghinaan biasanya mengandung Diksi (pilihan kata yang tepat dan selaras dalam penggunaannya untuk mengungkapkan gagasan sehingga diperoleh efek tertentu yang diharapkan) merendahkan, umpatan, dan membandingkan sesuatu yang dipandang hina, misalnya anjing.
“ Kata anjay dapat bermakna negatif jika digunakan tidak pada tempatnya, misalnya dalam bahasa resmi atau berbicara dengan orang yang dihormati. Kata anjay akan bermakna negatif bila bukan digunakan sebagai bahasa gaul…” paparnya.
Niknik menambahkan untuk memaknai sebuah teks harus menghubungkan dengan konteks, oleh karena itu, memaknai kata “ anjay “ tidak bisa hanya berdasarkan pemaknaan teks, tapi juga harus berdasarkan konteks. Sedangkan bahasa itu berkembang seiring perkembangan zaman.
“ Saya menyambut baik setiap perkembangan bahasa termasuk yang berasal dari anak muda, ini bagian dari kreativitas. Lebih baik berpikir positif, anak muda harus memahami kapan mereka boleh dan dalam situasi apa mereka boleh berkomunikasi dengan bahasa gaul. Dengan adanya bahasa gaul (slang), Indonesia akan lebih menjadi kaya dan dinamis…” punkasnya.