TIM MEDIS DAN RELAWAN PALING GAMPANG TERTULAR COVID-19, TERNYATA TUBUH PASIEN JADI PABRIK COVID-19

Jatengtime-com-Jakarta-Di seluruh dunia, ribuan tim medis yang terdiri dari dokter dan perawat serta relawan medis harus rela membayar mahal keterlibatan mereka dalam penanganan pandemi Covid-19 justru tertular virus corona.

Merekalah sebenarnya yang layak disebut Garda Terdepan, dan jumlah mereka yang meninggal akibat terjangkit virus itu juga bertambah setiap hari.

Merujuk data dari wabah SARS tahun 2002 dan 2003, WHO menyebut 21% kasus dalam pandemi itu dialami pekerja medis.

Walau menggunakan alat pelindung diri, dokter, perawat, dan relawan medis lain terlihat lebih rentan dan juga berisiko mengalami sakit yang serius ketimbang orang biasa.

Pada awal Maret lalu, China memperkirakan sekitar 3.300 tim medis mereka telah tertular virus corona. Antara 4-12 % kasus Covid-19 dialami dokter, perawat dan para relawan di garis terdepan penanganan virus corona.

Di Italia, lebih dari 6.200 orang tim medis yang positif Covid-19 adalah tim medis. Spanyol, 12 % dilaporkan tertular.

Pemerintah Inggris kepada BBC menyatakan bahwa lebih dari 50 % karyawan rumah sakit tidak dapat bekerja lagi.

Pertanyaannya, mengapa mereka bisa begitu rentan?

Mengapa Banyak Pekerja Medis Tertular Virus Corona…? Ternyata Tubuh Pasien jadi Pabrik Covid-19.

Profesor Wendy Barclay dari Departemen Penyakit Menular di Imperial College London dalam program BBC Newsnight menyebut jumlah virus yang dihadapi pekerja medis selama pandemi Covid-19 adalah penyebab utama kerentanan mereka.

Saat masuk ke tubuh pasien, virus akan menginvasi sel dan melipat-gandakan diri. Selama beberapa hari selanjutnya, jumlah virus itu akan terus bertambah banyak.

Muatan virus (viral load) yang besar menyebabkan pasien mengalami penyakit yang lebih parah. Kondisi inilah yang membuat seorang pasien lebih mudah menularkan virus kepada orang lain.

“ Semakin banyak virus di dalam tubuh saya, semakin mungkin saya menularkannya kepada anda…” kata Profesor Wendy.

Dalam tugasnya, dokter, perawat dan relawan kerap berkontak erat dengan orang-orang yang terindikasi terpapar dan membawa virus. Artinya, mereka berhadapan dengan virus dalam jumlah besar.

“ Sistem imun anda, meski anda seseorang yang sehat, bakal kesulitan menghadapi seluruh virus tersebut. Jumlah virus yang anda hadapi menentukan keseimbangan perang antara sistem kekebalan tubuh anda dan virus itu sendiri ..” ungkap Wendy.

Bagaimana virus corona masuk ke tubuh manusia…?

Virus corona dengan nama resminya adalah Sars-CoV-2, bersarang di sistem pernapasan manusia. Virus ini mudah keluar dan menginfeksi orang lain melalui napas atau batuk.

“ Setiap kali kita bernapas atau berbicara, kita mengeluarkan droplet (cairan) yang berasal dari hidung atau tenggorokan, yang berpindah melalui udara…” kata profesor Wendy.

Sejumlah percikan air liur yang jatuh ke tanah maka mengontaminasi permukaan tersebut. Inilah mengapa kita diminta untuk saling menjaga jarak aman dan rajin mencuci tangan.

Belum jelas secara medis berapa jumlah minimal partikel yang bisa membuat seseorang jatuh sakit.

“ Setidaknya hanya butuh tiga partikel untuk membuat seseorang terinfeksi influenza. Kita belum tahu berapa banyak partikel terkait Sars-CoV-2, tapi bisa jadi jumlahnya sangat kecil…” ungkap Prof Wendy.

Penggunaan Masker.

Para ahli masih memperdebatkan perlu atau tidaknya penggunaan masker untuk orang sehat, namun para peneliti dari Massachusetts Institute of Technology (MIT) di Cambridge, Amerika Serikat (AS) yang dipimpin oleh Prof Lydia Bourouiba, melakukan studi tentang pernapasan dan pergerakan droplet setelah batuk maupun bersin.

Studi yang dilakukan di laboratorium dengan menggunakan kamera kusus berkecepatan tinggi dan sensor lain untuk menilai secara tepat apa yang terjadi setelah batuk atau bersin.

Hasilnya ditemukan bahwa :
– Batuk dapat menghantarkan droplet hingga sejauh enam meter.
– Bersin dapat menghantarkan droplet hingga sejauh delapan meter dan jauh lebih cepat.

Sedangkan bernapas, ditemukan bahwa napas seseorang bisa mengeluarkan asap kecil yang bergerak cepat dan dapat berisi cairan dengan berbagai ukuran. Cairan terkecil dapat dibawa oleh udara dalam jarak yang jauh.

Dari hasil penelitian tersebut, Prof Lidya khawatir dengan jarak aman yang selama ini dipopulerkan dan direkomendasi oleh WHO selama ini antara lain dua meter.

Perlindungan diri (APD) yang lemah.

Dengan segala risiko paparan tersebut kemudian menjadi alasan mengapa tim medis di beberapa negara marah atas rendahnya ketersediaan alat pelindung diri (APD).

Para dokter di Perancis menggugat pemerintah yang mereka tuding gagal meningkatkan produksi masker.

Para dokter dan perawat di Zimbabwe turun ke jalan menggugat jumlah alat pelindung diri yang begitu rendah setelah memulai periode karantina wilayah selama tiga pekan untuk membendung penyebaran virus corona.

Di Inggris, pimpinan organisasi pekerja medis, Neil Dickson, menyebut ketersediaan alat pelindung diri yang rendah menjadikan kepercayaan diri perawat dan dokter anjlok, walau pemerintah Inggris menggerakkan tentara untuk mendistribusikan masker kepada pekerja medis.

Dickon yakin kebijakan itu membutuhkan waktu untuk mengembalikan rasa percaya diri dokter dan perawat.

“ Masalah lainnya adalah bahwa produsen alat pelindung diri ini biasanya berada di China dan negara Asia lainnya. Khusus untuk China, ada tantangan nyata untuk memastikan bahwa suplai barang-barang tersebut tersedia dalam beberapa waktu ke depan…” kata Dickson.

Oleh karena itu, sangat dibutuhkan peran aktif seluruh lapisan masyarakat untuk bersama-sama memerangi vius korona dengan mengikuti anjuran pemerintah.