RENCANA Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) mengamanatkan agar pemerintah memberikan sejumlah agenda pembangunan untuk diprioritaskan, dimana salah satunya adalah penurunan tingkat kemiskinan. Upaya pemerintah sementara ini boleh dikatakan telah membuahkan hasil positif. Berdasarkan data BPS, penurunan tingkat kemiskinan sampai dengan bulan Maret 2011 adalah sebesar 0,53% (0,89 juta orang), yaitu dari 12,49 % menjadi 11,96%. Selain itu, dalam tiga tahun terakhir ini tingkat pengangguran terbuka pada Februari 2011 yang semula sebesar 6,80% telah berhasil diturunkan menjadi 6,32% pada Februari 2012. Ini menunjukkan suatu perkembangan yang menggembirakan, meskipun harus diakui, tentunya belum bisa memuaskan semua pihak.
Turunnya tingkat kemiskinan diatas tidaklah terjadi begitu saja. Disini ada campur tangan pemerintah sebagai affirmatif action atau kebijakan yang berpihak kepada wong cilik. Dalam upaya penanggulangan kemiskinan, pemerintah telah meluncurkan beberapa kegiatan penanggulangan kemiskinan di masing- masing klaster, yaitu Program Keluarga Harapan (PKH), Raskin dan pembangunan kependudukan dan keluarga berencana (KB) untuk masyarakat miskin pada klaster 1, PNPM Mandiri pada Klaster 2, serta Usaha Mikro dan Kecil pada klaster 3 yang telah dilaksanakan oleh Pemerintah.
Klaster 1 adalah skema bantuan tunai langsung yang diberikan kepada keluarga miskin. Tujuannya adalah agar mereka bisa bertahan hidup untuk mendorong taraf hidup yang lebih baik. Dalam skema ini bantuan uang yang diberikan akan habis langsung diserap oleh keluarga miskin untuk memenuhi kebutuhan minimalnya. Klaster 2 dikenal dengan sebutan PNPM Mandiri, sebagai program utama pada klaster 2 program penanggulangan kemiskinan, yang ditujukan untuk meningkatkan keberdayaan dan kemandirian masyarakat miskin melalui pembentukan kelompok-kelompok masyarakat sehingga mereka mulai dapat telibat mulai dari proses perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan pembangunan. Klaster 3 adalah progam pemberdayaan usaha mikro dan kecil melalui penyaluran Kredit Usaha Rakyat (KUR) yang dimulai sejak tahun 2007. Selanjutnya tulisan ini akan fokus membahas perkembangan dan tantangan yang dihadapi dalam penyaluran KUR.
Tujuan Penyaluran KUR
Presiden SBY mencanangkan Kredit Usaha Rakyat (KUR) sebagai upaya peningkatan akses Usaha Mikro dan Kecil (UMK) ke Perbankan dengan skema penjaminan pada tanggal 5 November 2007. Tujuannya adalah memudahkan akses UMK kepada sumber pembiayaan khususnya perbankan. Penyaluran KUR ditujukan untuk mendukung penyediaan modal kerja dan/ atau investasi bagi UMK dan koperasi yang memiliki usaha produktif yang layak (feasible) namun belum bankable. Pengertian belum bankable disini adalah para UMK yang belum pernah atau belum terbiasa berhubungan dengan perbankan. Selama ini mereka memperoleh pinjaman dari non bank atau dengan rentenir dengan tingkat bunga yang melebihi tingkat bunga bank. Jadi permasalahan para UMK sebenarnya bukan pada tingkat bunga yang tinggi, tapi pada akses ke perbankan.
Agunan pokok kepada Bank untuk KUR adalah kelayakan usaha dan obyek yang dibiayai. Dana penjaminan yang disediakan pemerintah digunakan untuk menjamin 70 % dari plafon KUR (agunan tambahan) yang dipersyaratkan bank. Plafon penyaluran KUR yaitu: (1) setinggi-tingginya Rp. 20 juta untuk KUR Mikro, dan ( 2) diatas Rp 20 juta sampai dengan Rp. 500 juta untuk KUR Ritel. Sampai sekarang terdapat 33 bank pelaksana penyalur KUR dan empat perusahaan penjaminan yaitun PTAskrindo, Perum Jamkrindo, PT Jamkrida Jatim dan PT Jamkrida Bali.
Berdasarkan data Menko Perekonomian yang disampaikan pada Ratas Kabinet tanggal 10 Agustus 2012 di Gedung BRI Jakarta, secara akumulatif, penyaluran KUR sejak tahun 2007 hingga bulan Juli 2012 sebesar Rp. 82,3 triliun dengan jumlah debitur sekitar 6,8 juta. Jadi kalau kita asumsikan setiap debitur terdiri dari 4 orang, maka penyaluran KUR ini telah mendukung biaya hidup sekitar 27,2 juta orang atau 11,45 % dari total penduduk Indonesia sebesar 237.641.326 jiwa pada tahun 2010 (berdasarkan sensus BPS). Selain itu, tingkat kredit bermasalah (NPL) rata-rata sebesar 3,4%.
Meningkatnya debitur KUR sampai 6,8 juta menunjukkan bahwa program KUR diminati banyak para Usaha Mikro, Kecil dan Menengah. Padahal, menurut Menteri Koperasi dan UKM Sjarifuddin Hasan, pada tahun 2008 debitur KUR baru mencapai 1,6 juta dan 4 tahun kemudian melonjak menjadi 5 juta debitur. Peningkatan debitur ini antara lain karena penyedehanaan regulasi untuk mengajukan KUR ke perbankan. Selain itu bank pelaksana merasa lebih nyaman menyalurkan dananya karena adanya jaminan dari pemerintah. Jadi kalau terjadi kemacetan pada nasbahnya, maka perbankan bisa mengklaim kepada perusahaan penjamin yang ditunjuk pemerintah.
Masih ada ketimpangan
Kalau kita pelajari data yang disampaikan pada Ratas Kabinet tanggal 10 Agustus 2012 di Gedung BRI, baik yang disampaikan oleh Menko Perekonomian maupun Direktur Utama Bank Rakyat Indonesia (BRI) tampak penyaluran KUR setiap tahun ini menunjukkan adanya peningkatan baik dari sisi nilai kredit maupun jumlah debiturnya. Meskipun demikian, memang harus diakui bahwa mekanisme penyaluran KUR ini masih perlu diperbaiki agar dapat menyentuh lebih banyak masyarakat dilapisan bawah di seluruh wilayah tanah air.
Pertama, KUR yang telah disalurkan sebesar Rp. 82,3 triliun lebih banyak terserap di provinsi-provinsi di Pulau Jawa dibandingkan provinsi lainnya di luar Pulau Jawa. Secara kumulatif sejak 2007 – Juli 2012 urutan penyaluran KUR yang tinggi yaitu Jawa Timur, Jawa Tengah dan Jawa Barat. Untuk luar Jawa yaitu Sulawesi Selatan dan Sumatera Utara. Ternyata pada periode Januari-Juli 2012, urutan yang tertinggi masih ditempati oleh provinsi-provinsi yang berada di Pulau Jawa, yaitu Provinsi Jawa Tengah sebesar 15,77%, Jawa Timur 15,29 % dan Jawa Barat 12,01%. Pada periode ini sekitar 43% nilai KUR disalurkan ke provinsi Jawa Tengah, Jawa Timur dan Jawa Barat. Kalau kita tambah lagi dengan provinsi DKI Jakarta dan Yogyakarta, maka bisa lebih dari 50%’penyaluran KUR terpusat di pulau Jawa. Kenyataan ini memang tak bisa dipungkiri karena jumlah penduduk, daya beli dan infrastruktur di Pulau Jawa memiliki kelebihan dibandingkan di luar Pulau Jawa pada umumnya. Bahkan, otonomi daerah yang dimaksudkan dapat menyebarkan kue pembangunan sampai ke daerah-daerah pun ternyata belum bisa diharapkan.
Kedua, kalau dilihat dari sektor ekonomi, sebagian besar penyaluran KUR masih terfokus pada sektor perdagangan dan jasa lainnya , sedangkan sektor pertanian dan perikanan hanya sekitar 15% dari total KUR yang disalurkan. Kalau kita rinci lagi, nilai yang diterima para petani dan nelayan yang dikelompokkan pada kredit mikro, maka persentase penyaluran kepada usaha mikro di pertanian dan perikanan (nelayan) jelas akan lebih kecil lagi. Itulah sebabnya Presiden saat di gedung BRI baru-baru ini meminta kucuran KUR ke sektor pertanian, perikanan dan sektor hulu di daerah-daerah, bisa lebih diperluas lingkup penyaluran ke daerah-daerah miskin, untuk menghidupkan usaha mikro di wilayahnya. Menurut Presiden, masyarakat miskin terkonsentrasi di pedesaan, pertanian, dan tepi perkotaan. Oleh karena itu, bank-bank pelaksana diminta untuk menembus, cari sampai ke sektor hulunya, agar memperbanyak lapangan kerja dan bagi perekonomian.
Agar Fokus ke Usaha Mikro
Beberapa ketimpangan yang penulis sebut diatas tentunya perlu menjadi perhatian kita semua. Pertama, penyaluran KUR tidak boleh hanya terpusat di provinsi-provinsi yang ada di Pulau Jawa saja, tapi harus menyebar sampai ke seluruh Nusantara. Jelas tugas ini tidak bisa diserahkan kepada perbankan semata, karena pada dasarnya tugas bank (meskipun bank BUMN) tetap mencari profit. Dengan demikian peran Kementerian Koperasi dan UKM sangat berperan untuk mempersiapkan para calon debitur baru, sekaligus memediasi pertemuan calon debitur dengan pihak perbankan. Selain itu Kementerian Koperasi dan UKM tentunya harus bekerjasama dengan pihak pemerintah daerah untuk mensosialisasikan keberadaan dari KUR, termasuk bekerjasama dalam rangka melakukan pendampingan terhadap calon-calon debitur baru, baik perorangan, kelompok maupun melalui koperasi.
Kedua, sebagaimana yang ditengarai oleh Presiden SBY. Perlu dirumuskan kembali dan dicarikan solusinya agar kedepan penyaluran KUR mulai fokus ke sektor pertanian dan perikanan yang umummya bermukim di pedesaan dan tepi perkotaan . Presiden sungguh tepat menyampaikan hal tersebut, karena kemiskinan memang banyak terkonsentrasi di sektor ini, terutama para petani dan nelayan di pedesaan dan tepi-tepi perkotaan.
Di banyak negara, termasuk di Indonesia, keuangan-mikro telah terbukti bisa menjadi salah satu dari instrumen-instrumen yang tersedia untuk menanggulangi kemiskinan. Di Indonesia, misalnya banyak contoh sukses penanggulangan kemiskinan yang telah dilakukan oleh kredit mikro yang disalurkan BRI unit desa. Namun demikian, keuangan-mikro tidak dapat menjadi solusi bagi semua segmen golongan miskin. Keuangan mikro hanya bisa dimanfaatkan bagi masyarakat miskin yang aktif dan memiliki kemauan untuk meningkatkan kehidupan yang lebih baik, serta secara ekonomis memerlukan keuangan-mikro (Klaster 3). Sedangkan mereka yang sangat miskin, hampir miskin maupun rumah-rumah tangga yang tergusur memerlukan program-program penanggulangan kemiskinan atau jaringan-jaringan pengamanan sosial seperti Program Keluarga Harapan (PKH), Raskin dan pembangunan kependudukan dan keluarga berencana (KB) hang dikenal pada klaster 1. Sementara itu PNPM Mandiri (Klaster 2) disasarkan pada masyarakat miskin yang sudah dapat diberdayakan untuk meningkatkan taraf hidupnya.
Memang tidak mudah bagi perbankan untuk menyalurkan KUR kepada masyarakat miskin yang belum bankable, yang tentunya karakternya akan sangat berbeda dengan kelompok masyarakat yang sudah terbiasa berhubungan dengan lembaga keuangan atau perbankan. Selain itu, bank-bank pelaksana tersebut harus memiliki cabang-cabang yang sangat luas sampai ke pelosok pedesaan, juga perbankan harus memiliki sumberdaya manusia yang cukup sampai ketingkat pedesaan. Karena itu, selama ini adalah hal yang lumrah apabila pihak perbankan lebih aman dan nyaman menyalurkan KUR bagi usaha Kecil dan usaha Menengah, yang jumlah kucuran kredit mulai dari Rp 20 juta sampai Rp. 500 juta, dibandingkan menyalurkan kredit kepada kelompok masyarakat miskin yang belum terbiasa, bahkan belum pernah berhubungan dengan perbankan.
Sehubungan dengan harapan Presiden SBY agar KUR dikonsentrasikan pada para petani dan nelayan di pedesaan dan tepi-tepi perkotaan, maka kini sudah saat nya penyaluran KUR menitik beratkan kepada Kredit Mikro, yang hanya membutuhkan sekitar 2, 5 atau 10 juta rupiah saja, atau mungkin lebih kecil dari Rp 2 juta. Oleh karena itu, kementerian terkait dan perbankan serta lembaga-lembaga pembina usaha mikro harus duduk bersama untuk mencari strategi pengentasan kemiskinan melalui peningkatan akses jasa-jasa keuangan bagi rumah-rumah tangga berpendapatan rendah. Untuk menitik beratkan agar penyaluran KUR mulai bergeser ke usaha Mikro, hal ini jelas membutuhkan suatu strategi keuangan-mikro berdasarkan suatu pemikiran bersama yang baik.*
Mudah-mudahan harapan Presiden diatas dapat terpenuhi. Semoga.