Jatengtime.com-Iwan fariyanto, SE, salah satu tokoh muda dan penggiat seni budaya Bangsri menuturkan ‘ Perang Obor Tegalsambi, Jepara ’ adalah salah satu tradisi, budaya luhur asli Kota Ukir.
Tradisi Perang Obor Tegalsambi diadakan turun temurun yang dilaksanakan tiap Senin Pahing, malam Selasa Pon, di bulan Dzulhijjah ( Bulan Besar-Jawa ) bertepatan dengan tradisi sedekah bumi setiap tahun.
Setelah sempat tertunda 2 tahun karena Pandemi Korona, tradisi Perang Obor kali ini akan dilaksanakan pada 5 Juni 2023 yang masih dalam serangkain acara ‘ sedekah bumi ’ desa Tegalsambi, Kecamatan Tahunan, kabupaten Jepara.
“ Perang Obor Tegalsambi adalah sebuah ritual budaya adiluhung yang diselenggarakan oleh masyarakat desa sebagai bentuk penghormatan atas peristiwa sejarah peperangan antara dua tokoh karismatik Jepara, Ki Gemblong dan Kyai Babadan yang terjadi di jaman dulu…” kata Iwan.
Sebelum prosesi tradisi perang obor dimulai, warga Tegalsami akan ziarah ke makam para leluhur, kemudian menggelar selametan di delapan tempat bersejarah dan keramat.
Sebuah kerbau jantan yang belum pernah digunakan untuk membajak sawah akan disembelih, sebagian dipakai untuk bahan sesajian sebagai persembahan kepada ‘ penjaga ’ keselamatan desa.
Sebelum tradisi Perang Obor akan mulai, Petinggi ( Kepala Desa ) Tegalsambi, Agus Santoso beserta istri mengenakan pakaian adat Jawa, didampingi oleh pawang api dan sesepuh desa akan diarak oleh 40 pasukan yang membawa 350 obor yang telah dipersiapkan menuju tempat tradisi di perempatan jalan desa.
“ Dalam prosesi budaya ini, juga ikut diarak pusaka-pusaka dua kebayan Leger Tegalsambi warisan dari Sunan Kalijaga, Kadilangu Demak yang selalu disimpan oleh Petinggi dan 2 Kebayan Leger…” ujar Iwan.
Pusaka-pusaka warisan Sunan Kalijaga ini menurut Iwan yang juga dikenal sebagai petani bonsai Bangsri Jepara antara lain : 2 pedang kayu yang konon merupakan serpihan kayu dan potongan ‘ reng ’ ( bagian pijakan genteng ) yang dipakai membangun Masjid Demak yang dinamai pedang Gendir, pedang Gambyongsari. Selain itu sebuah arca dan sebuah Bedug Dobol.
“ Tentunya diawali do’a keselamatan kepada Allah SWT sebelum api obor dinyalakan. Pukul 8 malam, upacara Perang Obor dimulai, kemenyan dibakar sambil diiringi dengan gending jawa Kebo Giro. Para peserta berjalan menuju perempatan jalan desa Tegalsambi sambil membawa obor yang terbuat dari pelepah daun kelapa dan telah dinyalakan. Tidak sembarang warga boleh melakukan tradisi ini, para peserta diwajibkan mengenakan seragam khusus, bersepatu, dan bertutup kepala ( Caping )…” ungngkapnya.
Saat tiba dilokasi, salah satu pemimpin pasukan memberikan aba-aba…serang…! disusul pasukan berlari dari empat arah berlawanan menuju perempatan jalan.
Di tengah perempatan jalan desa inilah semua pasukan bertemu dan saling bertempur dengan api obor.
Pertempuran dengan api obor selama hampir satu jam ini menimbulkan bunga api dan menciptakan pemandangan yang magis.
Konon, perang obor berawal dari legenda Ki Gemblong yang dipercaya oleh Kyai Babadan untuk merawat dan menggembalakan ternaknya.
Suatu ketika, Ki Gemblong melupakan ternak-ternak yang digembalakan hingga sakit dan mati karena sibuk mencari ikan dan udang di sungai.
Kyai Babadan tidak terima dengan kelalaian dan memukul Ki Gemblong dengan obor dari pelapah kelapa. Ki Gemblong membela diri juga dengan obor.
Tidak terduga, benturan kedua obor tersebut menyebarkan bunga api di tumpukan jerami yang di sebelah kandang. Ternak Kyai Babadan yang awalnya sakit tiba-tiba menjadi sembuh.
Pasukan yang terluka bakar diobati dengan minyak Landoh.
Setelah proses perang berakhir, pasukan kembali ke rumah Petinggi Tegalsambi. Mereka yang mengalami luka bakar akibat perang obor akan diobati dengan minyak Londoh yang sudah dipersiapkan oleh istri Petinggi.
“ Minyak Landoh dibuat oleh Petinggi Tegalsambi dan dua Kebayan Leger dari bunga kering yang dikumpulkan dan diolah menjadi minyak memiliki kemampuan menyembuhkan luka bakar akibat perang obor dengan cepat…pungkasnya.