Jatengtime.com-Pilihan Redaksi-Rokok, satu kata yang selalu selalu di hembuskan identik dengan fenomena pro-kontra yang nyata berkembang dimasyarakat serta selalu di vonis “ Asap rokok identik dengan bahaya kesehatan “.
Anggap saja hanya asap rokok sebagai biang keladi kesehatan di masyarakat, sedangkan asap knalpot sepeda motor, mobil dan cerobong pabrik justru menyehatkan paru-paru masyarakat dan membuat umur panjang.
Fakta kontroversi rokok ternyata tidak cukup bagi perokok untuk merasa nyaman dan terjamin haknya bahkan dengan mudah fenomena perokok merasa terdiskriminasi bahkan seringkali tindakan-tindakan masyarakat mengesampingkan hak-hak perokok yang sebenarnya dilindungi oleh undang-undang.
Fakta yang sering ( Sengaja ) terlupakan
Dan ternyata semua pihak perlu mengkaji lebih dalam untuk menempatkan aktivitas merokok ke dalam kategori pihak yang menjadi penyebab “ Dosa Kesehatan “.
Beragam bentuk diskriminasi dan stigma negatif sengaja di munculkan oleh beberapa pihak atau bisa jadi adalah alasan bisnis pemasaran rokok dalam negeri yang berdasarkan kajian-kajian empiris sepihak sehingga tidak berlebihan kemudian muncul kebijakan diskriminatif yang dibuat oleh “ pemerintah “ yang biasa dimanifestasikan dalam bentuk peraturan-peraturan hukum yang muatannya merugikan bagi kaum perokok seperti Perda “ Kawasan Tanpa Rokok ( KTR ) yang akhirnya menempatkan kaum perokok pada posisi yang mau tidak mau harus berjuang untuk mewujudkan kesetaraan hak perokok dengan masyarakat lain yang bukan perokok.
Bahkan ironi, berdasarkan kriteria perokok-bukan perokok merupakan salah satu dari banyak bukti masih adanya anggapan yang mengakar “ Stigma moral negatif bagi perokok “ di tengah masyarakat.
Bahkan ada label buruk perokok yang dianggap seolah-olah “ Seorang kriminal dan mengingkari kodrat bagi perokok wanita “ adalah pola pikir sesat, bukan tidak mungkin berasal dari pihak yang sedang “ Bermain “ menjatuhkan produk rokok dalam negeri untuk kemudian memasarkan rokok dari luar negeri lewat warga negara Indonesia sendiri.
Namun banyak pihak seharusnya sadar bahwa “ Moralitas seseorang tidak bisa diukur dari sebatang rokok “. Anggapan dan pola pikir semacam ini harus dilawan dengan perjuangan kampanye persuasif untuk membuka mata awam tentang sisi lain dari perokok.
Perokok Merupakan Penyumbang Pajak
Berdasarkan fakta bolehlah sedikit memberi sekedar informasi bahwa “ Perokok menyumbang ratusan triliun rupiah tiap tahunnya pada Negara “, koq bisa…?
Pembangunan infrastuktur yang massif dilakukan oleh pemerintah dari berbagai era kepeminpinan tidak lepas dari kontribusi perokok di dalamnya.
Kurang lebih 10% dari pagu APBN tiap tahunnya ternyata didapat dari penerimaan cukai.
Dan 10% penerimaan cukai tersebut didominasi oleh cukai dari produk hasil tembakau.
Pajak yang diambil pemerintah dari harga “ Sebatang rokok yang dihisap “ oleh perokok mencapai angka 61 hingga 70%.
Dengan kata lain setiap perokok merupakan seorang warga Negara yang punya kontribusi aktif bagi penyelenggaraan roda pemerintahan.
Semua pihak sudah selayaknya perlu mengkaji lebih dalam untuk menempatkan aktivitas merokok ke dalam kategori merugikan, jika tidak mau disandingkan dengan fakta bahwa perokok menyumbang ratusan triliun rupiah tiap tahunnya pada Negara.
Puluhan juta petani tembakau, karyawan dan buruh pabrik rokok modern dan linting tangan konvensional ( SKT, Sigaret keretek Tangan ) beserta seluruh keluarga mereka adalah pihak yang perlu dipertimbangkan juga dalam perang Anti Nikotin oleh pihak organisasi-organisasi “ Anti Rokok “ yang saat ini gencar dilakukan, tapi mereka ternyata ( Harusnya Malu ) ikut menikmati “ Manisnya Pajak Asap Rokok “.
Perokok Adalah Konsumen
Negara menjamin perlindungan hak para konsumen barang dan/ atau jasa yang tersedia di dalam masyarakat.
Produk hasil olahan tembakau seperti rokok yang membayar pajak pada Negara merupakan salah satu barang yang peredarannya diatur oleh Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
Pasal 4 huruf a UU Perlindungan Konsumen dengan jelas menyatakan bahwa konsumen memiliki hak atas kenyamanan, keamanan dan keselamatan dalam mengkonsurnsi barang dan/ atau jasa.
Sehingga seharusnya hak-hak tersebut hanya akan terwujud jika UU Perlindungan Konsumen dilaksanakan dengan amanah atau dengan kata lain perokok tentunya digaransi oleh undang-undang Perlindungan Konsumen.
Fakta obyektif tembakau dan rokok
Banyak kisah dan curahan hati petani yang telah puluhan tahun menggantungkan hidupnya dari bertani tembakau seperti petani dari Wonosobo, Demak, Temanggung, Boyolali, Bali, Lombok, Garut, Deli dan daerah penghasil tembakau lainya yang dibingkai dengan tradisi dan ritual masyarakat setempat yang melibatkan rokok dan tembakau sebagai bagian penting dari kelangsungan hidup mereka.
Di Wonosobo, tembakau merupakan bagian dari tradisi “ nginang atau menyirih “ bagi orang tua.
Di Demak, masyarakat di 3 kecamatan penghasil tembakau menjadi makmur setelah menanam tembakau.
Di Bali, rokok diletakkan sebagai salah satu syarat ritual “ Bebantenan atau tradisi menyembah Tuhan “.
Di Temanggung, ada anggapan masyarakat “Tembakau atau mati “, bahwa merokok tidak akan membuat mereka mati.
Di Lombok, kisah perkebunan tembakau Deli yang awalnya merupakan kawasan sumur bor kemudian menjadikan tembakau menjadi sebuah fragmen para petani yang menjadikan tembakau untuk kesejahteraan anak dan istri.
Di Garut, tempat kelahiran tembakau Mole yang termasyhur, kini hanya tersisa petani tembakau generasi terakhir di kampung Maribaya, Garut. Sejarah kejayaan tembakau mole yang molek mungkin saja tidak bisa lagi dijumpai di masa datang, karena dibasmi oleh kekuatan-kekuatan dari luar desa.
Di Boyolali, kepulan asap temabakau menjadi kepulan harapan baru. Tembakau menjadi kunci roda perekonomian yang terus berputar di Boyolali.
Divene kretek dan scavenger
Divine Kretek mungkin cukup asing bagi sebagian masyarakat awam.
Sejak gencarnya tudingan terhadap rokok sebagai biang penyakit merembes ke berbagai lini masyarakat, ditambah sekitar 7000 jurnal penelitian kedokteran di dunia menyatakan bahaya rokok dan asap rokok bagi kesehatan manusia, kemudian ada seorang perempuan peneliti asal Indonesia, Profesor Gretha Zahar yang justru mengangkat produk olahan tembakau ini menjadi obat yang menyembuhkan.
Profesor Gretha Zahar, wanita cemerlang yang berusia 72 tahun, pernah bekerja pada laboratorium CSIRO, Lucas Height (1984) di New South Wales, Australia, serta yang pada tahun 1986 pernah bekerja di laboratorium Strahlencheime, Giessen, Jerman ternyata dapat menemukan formulasi yang dilabelinya sebagai “ Divine Kretek ”, justru menawarkan satu temuan berbasis teori biradikal yang mencengangkan, dan itu cukup diakui banyak kalangan.
Sekelas ilmuwan seperti bu Gretha tentu tak bisa diremehkan, hal-hal yang dilakoninya bukan tanpa kajian ilmiah serta dengan waktu yang lama.
Dengan metode balur serta metode mengasapi tubuh pasiennya dengan produk Divene terapi di klinik balur Gretha Zahar “ Rumah Sehat Griya Balur Muria “, Jalan Ngasinan No.9, Plumbungan, Desa Purworejo, Kecamatan Bae, Kabupaten Kudus, Jawa Tengah yang sudah dimulai sejak tahun 1998 mampu meluruhkan beberapa gangguan penyakit.
Temuan bu Greta semakin mendapatkan pecapaian lebih ketika beliau bersama profesor Sutiman Bambang Sumitro, seorang Guru Besar Ilmu Biologi Sel di Universitas Brawijaya melakukan penelitian serta eksperimen lebih lanjut.
Hasil inovasi dua ilmuwan yang tergabung dalam Lembaga Penelitian Peluruhan Radikal Bebas ( LPPRB ) Malang, melalui riset mereka berbasis Nanosains, Nanoteknologi, dan Nano-biologi dari mahakarya “ Local genuine masyarakat Nusantara “ seperti yang diwariskan Haji Djamhari melalui rokok yang dicampur dengan cengkeh telah berhasil memformulasikan suatu materi yang disebut “ Scavenger “ yaitu suatu formula yang dapat memperkecil partikel asap menjadi partikel berskala nano, yang mampu menangkap, mengendalikan, dan meluruhkan radikal bebas.
Divene kretek dan scavenger ini menurut seorang Guru Besar Fakultas Kedokteran Undip, Semarang, diakui sebagai temuan yang luar biasa dan temuan bu Gretha saat ini tengah dipromosikan untuk mendapatkan hadiah Nobel.
Berbagai fakta dan cerita yang diungkap oleh dua belas wartawan dalam sebuah buku yang berjudul “ Kisah Tentang Tembakau Kumpulan Tulisan Jurnalisme Sastrawi, Juni 2012 “ mungkin akan mengubah cara pandang kita mengenai tembakau.
Atau mungkin sebuah tulisan yang berjudul “ Berbagi Kasih dan Kontroversi di Rumah Balur “ tentang rokok dan asap rokok dimasukkan sebagai salah satu elemen terapi pengobatan dengan Larutan divine kretek.
Racun-racun di dalam tubuh dapat keluar dengan sangat mudah melalui pori-pori kulit, tanpa meninggalkan luka.
Terapi balur sendiri tidak hanya terdiri dari merokok Divine kretek, tapi sebelum terapi pasien diharuskan meminum larutan asam amino, lalu dibaringkan diatas tempat dari bahan tembaga dan dibalur dengan berbagai ramuan, seperti garam, air kelapa, kopi dan sebagainya.