Jatengtime.com-Jakarta-Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (MD3) digugat seorang advokat bernama Zico Leonardo Djagardo ke MK (Mahkamah Konstitusi), DPR tidak boleh mengadakan rapat diluar atau di hotel mewah kecuali gedungnya rusak.
Zico dalam dokumen perkara nomor 42/PUU-XXIII/2025, dikutip dari laman MK, Kamis (24/4/2025) secara jelas meminta MK menyatakan frasa ‘Semua rapat di DPR’ dalam Pasal 229 UU MD3 bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai sebagai berikut:
“ Semua rapat di DPR wajib dilakukan di Gedung DPR kecuali terdapat keadaan tertentu yang menyebabkan fasilitas di seluruh ruang rapat di gedung DPR tidak dapat digunakan atau berfungsi dengan baik…”.
Zico beralasan bahwa kompleks DPR sudah memiliki beragam fasilitas yang sangat layak untuk menggelar rapat. Bahkan menurutnya setidaknya ada 13 ruang rapat ditambah ruang rapat fraksi yang akan menyesuaikan jumlah fraksi.
Namun, Zico menyebut fasilitas yang begitu besar yang dibiayai oleh uang rakyat tidak mampu membuat DPR fokus menjalani tugasnya dan memilih rapat di hotel-hotel mewah.
“ Peristiwa tersebut tentu menimbulkan kontroversi dan kritik dari publik. Hal ini terutama karena (rapat di hotel-hotel mewah) terkesan sebagai pemborosan anggaran, sementara pemerintah dan lembaga negara lainnya sedang gencar melakukan efisiensi anggaran…” ungkap Zico.
Zico juga menyebut bahwa rapat DPR di hotel-hotel mewah sebagai tindakan foya-foya dan gaya hidup mewah di tengah tuntutan efisiensi anggaran akan memperburuk citra DPR di mata publik, apalagi ketika masyarakat sedang kesulitan secara ekonomi.
Selain terkait DPR untuk tidak rapat di hotel kecuali gedung DPR/MPR rusak, Zico juga menggugat sejumlah pasal dari UU MD3 seperti Pasal 12 terkait tugas DPR sebagai wakil rakyat, meminta MK menambahkan klausul agar anggota DPR bisa menyampaikan pendapat secara perorangan, bukan atas nama fraksi.
Kemudian, Pasal 82, Zico mengusulkan perubahan makna dalam frasa ‘Hak dan Kewajiban Anggota DPR’. Dia meminta agar MK memaknai sebagai hak dan kewajiban perseorangan anggota DPR dalam menyatakan pendapatnya secara perseorangan tanpa pengaruh dari pimpinan fraksi partai politik.