BANYAK PIHAK KAWATIR INDONESIA JADI RAJA BATERAI MOBIL LISTRIK DUNIA

Jatengtime.com-Jakarta-Dulu Indonesia hanya bertumpu pada penjualan bijih mentah bahan baterai (Nikel), namun di era Pemerintahan Jokowi sekarang terus mengembangkan industri hilir mineral, termasuk Nikel.

Dunia diperkirakan akan mengalami kekurangan pasokan komoditas mineral kusus bahan baku baterei seperti Nikel, Lithium dan Kobalt, terutama ketika dunia berbondong-bondong menuju transisi energi baru terbarukan guna mengurangi emisi karbon.

Sejumlah negara maju terus menggencarkan pemakaian kendaraan listrik, sehingga permintaan untuk baterai kendaraan listrik akan melonjak. Perkiraan lonjakan baterai kendaraan listrik ini berpotensi berdampak pada prospek kekurangan pasokan bahan baku mineral tersebut, termasuk nikel.

Sementara dengan sumber daya Nikel yang digunakan untuk baterai adalah nikel kelas satu seperti Nikel Sulfat Indonesia yang melimpah hingga miliaran ton, tidak ada salahnya bercita-cita menjadi raja baterai dunia untuk kendaraan listrik dan ponsel.

Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) pun telah membentuk Holding BUMN industri baterai terintegrasi dari hulu hingga hilir bernama “ Indonesia Battery Corporation (IBC) ”.

Namun ternyata, cita-cita besar Indonesia menjadi ancaman bagi konsumen nikel dunia, dan banyak yang tidak suka.

Mengutip Reuters, Jumat (02/07/2021) kemarin, harga Lithium yang tinggi telah gagal untuk memacu investasi dalam kapasitas baru karena harga kontrak jangka panjang yang lebih rendah, sementara masalah pasokan Kobalt adalah bahwa sebagian besar merupakan produk sampingan dari tembaga, yang berarti keputusan investasi didasarkan pada harga tembaga.

Sementara untuk Nikel, proyek-proyek baru akan segera hadir di Indonesia yang memiliki cadangan Nikel terbesar di dunia, sehingga kemungkinan kekurangan pasokan secara signifikan baru akan terjadi jelang akhir dekade ini.

Praktisi industri Nikel, Steven Brown dalam diskusi secara daring, Selasa (29/06/2021) lalu menjelaskan bahwa untuk bisa melakukan transisi energi, diperlukan kurang lebih 1 juta ton logam Nikel tambahan pada tahun 2030.

Produksi nikel selama ini menurutnya terus bertambah dalam beberapa tahun terakhir, sesuai dengan pertumbuhan permintaan. Sementara sampai saat ini tidak terjadi kekurangan pasokan nikel.

Namun sangat disayangkan “ penambahan produksi nikel ini hanya terjadi di Indonesia ”. Sementara produksi di luar negeri malah mengalami penurunan.

Kondisi ini baik bagi Indonesia, namun menurutnya ini akan menjadi ancaman bagi pihak luar.

“ Tapi pertumbuhan dalam nikel hanya terjadi di Indonesia, di luar malah turun, dan ini baik untuk Indonesia, tapi untuk pengguna nikel di luar, ini menjadi ancaman…” ungkapnya.

“ Peningkatan produksi terjadi untuk nikel kelas dua seperti Feronikel dan Nickel pig iron (NPI), sementara Nikel kelas satu tidak ada pertumbuhan. Nikel yang digunakan untuk baterai adalah nikel kelas satu seperti Nikel Sulfat, sementara nikel kelas dua untuk stainless steel…” ujarnya.

Steven menambahkan beberapa proyek smelter nikel kelas satu untuk baterai sudah diumumkan dan semuanya berada di Indonesia.

Diperkirakan, dua pertiganya akan berada di Indonesia dan terbangun lebih dahulu.

“ Beberapa proyek di-announced, hampir semua ada di Indonesia. Proyek pipeline mungkin 2/3 ada di Indonesia, yang akan terbangun dulu di Indonesia, yang non Indonesia masih jauh sekali dari tahap konstruksi…” imbuhnya.

Nikel Indonesia jauh lebih baik karena biaya modal lebih rendah dan jadwal konstruksi bisa lebih singkat.

“ Namun ada isu sedikit, adalah environmental dan social, serta government. Kalau dilihat dari standar yang ada, Indonesia punya risiko lebih tinggi pada environmental dan social government daripada projek di luar Indonesia…” pungkasnya.

Bahan-bahan untuk baterai dunia yang melimpah di Indonesia.

Lithium.

Baterai kendaraan listrik dapat menggunakan Lithium karbonat atau Lithium Hidroksida. Bahasa industri biasanya disebut Lithium Karbonat Setara (LCE) yang mengandung keduanya.

Berdasarkan Benchmark Mineral Intelligence (BMI), harga LCE di pasar spot telah naik di atas US$ 12.000 per ton, naik lebih dari dua kali lipat level yang terlihat pada November tahun lalu. Tertinggi sejak Januari 2019.

Level US$ 12.000 per ton tersebut cukup tinggi untuk mendorong investasi meningkatkan kapasitas, tetapi kontrak tahunan atau jangka panjang yang ditandatangani pada kuartal terakhir tahun 2020 lalu, dengan harga yang lebih rendah, menjadi penghalang.

Defisit LCE sebesar 25.000 ton tahun ini diperkirakan akan mengalami defisit akut mulai tahun 2022. Diperkirakan permintaan LCE akan meningkat di atas dua juta ton pada 2030, meningkat lebih dari 4,5 kali lipat dari 2020.

Kobalt

Kandungan Kobalt dalam baterai juga telah berkurang secara signifikan dalam beberapa tahun terakhir, tetapi penjualan terus melonjak, sehingga permintaan akan meningkat secara keseluruhan.

Permintaan Kobalt akan meningkat menjadi 270.000 ton pada 2030 dari 141.000 ton tahun lalu.

Proyek High Pressure Acid Leaching (HPAL) di Indonesia digadang-gadang akan membantu menutupi sebagian dari kekurangan tersebut.

Namun masalahnya, Kobalt itu sebagian besar merupakan produk sampingan, sementara permintaan Kobalt dari kendaraan listrik mencapai lebih dari 120.000 ton, atau hampir 45% dari total, pada tahun 2025 dibandingkan dengan hampir 39.000 ton, atau 27%, pada tahun 2020.

Nikel

Kekhawatiran tentang pasokan Nikel untuk bahan baku baterai terobati setelah produsen Nickel Pig Iron (NPI) China Tsingshan Holding Group mengatakan akan mengubah NPI menjadi Nickel Matte, yang dapat digunakan untuk membuat bahan kimia Sulfat untuk baterai.

Proyek High Pressure Acid Leaching (HPAL) di Indonesia akan menghasilkan antara 400.000-600.000 ton Nikel per tahun untuk sebagian besar dekade ini.

Pasokan nikel global diperkirakan sekitar 2,6 juta ton tahun ini. Dari jumlah tersebut sekitar dua pertiganya akan digunakan untuk stainless steel, sebagian besar di China, sementara konsumsi kendaraan listrik kurang dari 10%.