JK BIKIN GADUH KRITIK KE PEMERINTAH TANPA DIPANGGIL POLISI, DPR : WAKTU MENJABAT SEBAGAI WAPRESNYA SBY GIMANA…?

Jatengtime.com-Pernyataan Presiden Jokowi dalam Peluncuran Laporan Tahunan Ombudsman RI Tahun 2020 beberapa waktu lalu meminta masyarakat untuk lebih aktif dalam memberi masukan dan kritik pada pemerintah, karena masukan dan kritik bagian dari proses untuk mewujudkan pelayanan publik yang lebih baik.

“ Masyarakat harus lebih aktif menyampaikan kritik masukan ataupun potensi mal-administrasi dan para penyelenggara pelayanan publik juga harus terus meningkatkan upaya-upaya perbaikan perbaikan…” kata Jokowi.

Namun pernyataan dari presiden Jokowi dimaknai Jusuf Kalla (JK) yang pernah menjabat sebagai wakil presiden, berbeda dengan penegasan sarat sindiran “ Bagaimana caranya mengkritik pemerintah tanpa dipanggil polisi…? “

Sindiran JK sontak dinilai banyak pihak sebagai upaya membuat gaduh, terjadi dalam acara peluncuran Mimbar Demokrasi Kebangsaan Fraksi PKS DPR RI seperti ditayangkan di kanal YouTube PKS TV, Sabtu, 13 Februari 2021.

“ Beberapa hari lalu presiden (Jokowi) mengumumkan silakan kritik pemerintah, tentu banyak yang ingin melihatnya, bagaimana caranya mengkritik pemerintah tanpa dipanggil polisi? Seperti yang disampaikan Pak Kwik (Kian Gie), dan sebagainya…” sindir JK.

Demokrasi menurut “ versi “ JK tidak bisa menghilangkan kritik. Check and balance amat diperlukan. Oleh karena itu keberadaan “ Partai Oposisi “sangat penting untuk menjaga keberlangsungan demokrasi.

“ PKS sebagai partai yang berdiri sebagai oposisi tentu mempunyai suatu kewajiban untuk melaksanakan kritik itu agar terjadi keseimbangan dan kontrol di pemerintahan. Tanpa adanya kontrol, pemerintah tidak dapat berjalan dengan baik…” ujarnya.

JK dinilai “ lupa “ pernah menjadi bagian dari pemerintah, pernah menjabat sebagai Wakil Presiden hingga 2 kali yangharusnya paham arti masukan dan krtik kepada pemerintah.

JK lebih percaya pada hasil survai pihak asing (yang belum tentu valid dan termasuk ada tendensi terselubung survai tersebut) yang menyatakan Indeks Demokrasi Indonesia  2020 turun.

Hasil survai yang dipercaya JK seperti versi The Economist Intelligence Unit (EIU) yang menyatakan posisi Indonesia anjlok 17 peringkat dari rangking ke-85 (2019) ke posisi 102 (2020) dari 180 negara yang disurvei.

Indonesia disebut hanya mencetak skor 37 poin, jauh di bawah rata-rata global yang mencapai 43 poin.

Level pemberantasan korupsi Indonesia saat ini jauh di bawah negara-negara Asia Tenggara lain, seperti Singapura (85 poin), Brunei Darussalam (60 poin), atau Malaysia (51 poin).

Dari hasil survai tersebut, JK menyebut, hal itu terjadi karena demokrasi di Indonesia yang terlalu mahal, akibatnya demokrasi tidak berjalan dengan baik.

“ Untuk menjadi anggota DPR saja butuh (modal) berapa, menjadi bupati dan menjadi calon pun butuh biaya. Karena demokrasi mahal, maka kemudian menimbulkan kebutuhan untuk pengembalian investasi. Maka disitulah terjadinya menurunnya demokrasi. Kalau demokrasi menurun, maka korupsi juga naik. Itulah yang terjadi…” ungkapnya.

Tenaga ahli Kepala Staf Presiden (KSP) Ade Irfan Pulungan, Minggu (14/2/2021) menilai JK terkesan sengaja ingin memprovokasi keadaan usai melontarkan pertanyaan bagaimana cara masyarakat bisa mengkritik pemerintahan Joko Widodo tanpa harus dipanggil polisi.

“ Saya katakan sangat ironis sekali saya katakan, jika pak Jusuf Kalla menyampaikan itu, dan disampaikannya dalam forum suatu partai, sepertinya dia ingin memanas-manasi atau memprovokasi keadaan untuk bisa memberikan arah kepada partai tersebut…Kata Ade.

Ade menyuruh JK agar memahami dan membedakan antara kritik, fitnah dan caci maki yang dilontarkan untuk pemerintah. Ade juga mempertanyakan logika berfikir JK bila melontarkan pernyataan seperti demikian di forum parpol.

“ Saya kira dia sebagai tokoh masyarakat, tokoh publik dan mantan Wakil Presiden 2 kali, kalau dia mempertanyakan tentang itu justru saya mempertanyakan tentang logika berfikir dia, mengapa dia malah menyatakan statement itu…” tandasnya.

Ade menegaskan kebebasan berpendapat sudah diatur dalam aturan undang-undang di Indonesia. Siapapun bisa mengutarakan pendapat asalkan tidak melanggar ketentuan pidana yang sudah diatur.

Aparat penegak hukum sudah sepatutnya bertindak bila seseorang menyampaikan kritik namun disertai hujatan dan memenuhi unsur pidana.

“ Itu sangat diatur oleh undang-undang, kalau ada kata-kata hujatan, caci maki, fitnah, ujaran kebencian tanpa ada bukti yang jelas dan telah memenuhi unsur-unsur pidana di dalamnya pasti aparat penegak hukum akan bertindak…” tegasnya.

Untuk diketahui, masukan, kritik dan saran sangat berbeda artinya dengan ujar kebencian atau provokasi.

Ada Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang bisa menjerat siapa saja yang sengaja lantang melakukan ujar kebencian dan provokasi lewat sosial media, yang kemudian dilaporkan oleh pihak yang merasa dirugikan lewat delik aduan kepada polisi. Sedang polisi tidak akan pernah memproses suatu perkara delik aduan kecuali diawali dari laporan masyarakat yang merasa dirugikan).

Jazilul Fawaid, Anggota Komisi III DPR-RI Jazilul, Minggu (14/2/2020) mengatakan apa yang disampaikan Ade Irfan Pulungan bisa benar.

Jazilul bahkan meminta Jusuf Kalla untuk jujur terhadap kondisi bangsa hingga tidak tahu cara mengkritisi pemerintah .

“ Menurut saya, mungkin saja (Ade Irfan Pulungan) itu benar, pak JK tolong katakan dengan jujur apa yang sebenarnya terjadi kok sampai tidak tahu cara mengkritik pemerintah…” ungkap Jazilul.

Politisi PKB ini juga meminta agar Jusuf Kalla bisa membuktikan jika pemerintah menggunakan hukum untuk menutup mulut para pengkritiknya.

“ Buktikan juga bila pemerintah ini menggunakan jerat hukum untuk para pengkritik…” tegasnya.

Jazilul yang juga menjabat sebagai Wakil Ketua MPR-RI mewakili PKB ini mengingatkan kepada JK bahwa saat ini Indonesia tengah menghadapi krisis akibat pandemi Covid-19 dan dibutuhkan kesejukan dalam berpikir dan kritik yang membangun bukan kegaduhan.

“ Pemerintah dan kita semua sedang menghadapi krisis, kita perlu kebersamaan dan solusi untuk menghadapi krisis ini, baik dalam bentuk konsep, nasehat dan kritik…” pungkasnya.

Aria Bima, Politikus senior PDI-P kepada wartawan di Solo, Minggu (14/2/2021) juga angkat bicara terkait pernyataan JK yang mempertanyakan bagaimana mengkritik pemerintah tanpa dipanggil polisi.

Aria Bima bahkan bertanya balik kepada JK, apakah setelah tidak menjabat Wakil Presiden presiden, kini JK tak lagi bisa membedakan antara kritik dengan ujar kebencian, hoax atau penistaan.

“ Sekarang pertanyaannya, Pak JK ini masih bisa membedakan antara kritik dengan tindak pidana seperti hoax, ujaran kebencian, penistaan dan lain-lain itu apa tidak…?. Atau apa karena sekarang sudah tidak jadi wapres tiba-tiba sudah tidak bisa membedakan…” tegas Aria.

Wakil rakyat dari PDI-P mengatakan menegaskan konstitusi memberikan ruang kebebasan berpendapat bagi semua pihak. Namun kebebasan itu tidak berlaku bagi penyebaran ujaran kebencian, kabar bohong dan penistaan yang diatur dalam UU yang dibuat jauh sebelum Jokowi menjabat presiden.

“ Saya hanya berdo’a agar pak JK tidak cepat lupa…karena periode 2014-2019, dia berada di dalam kekuasaan mendampingi presiden sebagai wapres. Dan tahu betul bagaimana Presiden Jokowi dan kabinetnya menghormati masukan dan kritik dari semua pihak. Ingat ya…kritik, bukan hoax…! “ tegasnya.

Aria Bima yang juga menjabat sebagai Wakil Ketua Komisi VI DPR-RI ini menyebut saat ini ada kelompok-kelompok yang sengaja secara masif membajak ruang-ruang kebebasan demokrasi untuk melakukan provokasi dan menebar kebencian.

“ Jangan salahkan polisi yang memang tugasnya menegakkan UU untuk menangkap para pelaku tindak pidana tersebut…” ungkapnya.

Aria Bima bahkan mengingatkan JK dengan memberikan contoh nyata pada waktu itu dia menjabat sebagai Wakil Presiden, sedang presidenya SBY di tahun 2004-2005, telah terjadi penangkapan aktivis kritis I Wayan Gendo Suardana dan Monang J Tambunan yang mengkritik pemerintahan SBY terkait kenaikan harga BBM dengan pasal penghinaan kepada presiden.

“ Jadi untuk apa pak JK berbicara bagaimana cara kritik tanpa dipanggil polisi…? Bukankah dengan dua kali menjabat sebagai wapres, beliau tahu dan mestinya punya kearifan yang tinggi dan bisa menempatkan diri benar-benar sebagai negarawan atau malah guru bangsa yang mampu membuat situasi adem. Bukan justru sebaliknya…! tegasnya.

“ Demokrasi memiliki rambu-rambunya sendiri. Kritik sesuatu yang dibutuhkan untuk memperbaiki kerja pemerintah. Namun, fitnah, hoax, berita palsu berpotensi memecah belah bangsa dan merusak demokrasi…! “ pungkasnya.