TUNTUTAN JAKSA KEPADA PENYIRAM NOVEL DINILAI RINGAN, PAKAR HUKUM : TERGANTUNG FAKTA PERSIDANGAN

Jatengtime.com-Jakarta-Gaduh terkait tuntutan jaksa Ferdik Adhar atas terdakwa penyiram air keras kepada penyidik senior KPK, Novel Baswedan yang dinilai beberapa pihak adalah ringan terjawab dengan gamblang oleh pakar hukum pidana Indriyanto Seno Adji.

JPU di Pengadilan Negeri Jakarta Utara (PN Jakut), Jalan Gajah Mada, Gambir, Jakarta Pusat, Kamis (11/6/2020) menyebut dua terdakwa Rahmat Kadir dan Ronny Bugis berdasarkan fakta-fakta persidangan dan pengujian alat bukti yang dihadir, terdakwa tidak memenuhi unsur-unsur dakwaan primer soal penganiayaan berat yang tercantum dalam pasal 355 ayat (1) KUHP Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Kedua terdakwa disebut JPU tidak sengaja menyiramkan air keras ke bagian wajah Novel, kedua terdakwa hanya ingin menyiramkan cairan keras ke badan Novel.

“ Bahwa dalam fakta persidangan, terdakwa tidak pernah menginginkan melakukan penganiayaan berat. Terdakwa hanya akan memberikan pelajaran kepada saksi Novel Baswedan dengan menyiram air keras ke badan Novel, namun ternyata mengenai kepala…” kata Ferdik.

Jaksa Ferdik menyebut dakwaan primer yang didakwakan dalam kasus ini tidak terbukti. Oleh karena itu, jaksa hanya menuntut kedua terdakwa dengan dakwaan subsider.

“ Oleh karena dakwaan primer tidak terbukti, terdakwa harus dibebaskan dari dakwaan primer. Kemudian kami akan membuktikan dakwaan subsider. Dakwaan subsider melanggar Pasal 353 ayat 2 KUHP juncto Pasal 55 ayat 1 KUHP…” ungkap JPU.

Hal yang meringankan terdakwa mengakui perbuatannya, telah meminta ma’af kepada Novel dan keluarga serta institusi polisi.

“ Pertama, terdakwa mengakui terus terang di dalam persidangan, kedua terdakwa sudah meminta ma’af dan menyesali perbuatannya kepada keluarga Novel Baswedan serta meminta ma’af institusi polisi…” ungkap JPU.

Dakwaan primer tidak terbukti karena Rahmat Kadir tidak memiliki niat dari awal untuk melukai Novel. Alasan kedua tersangka melakukan penyiraman air keras hanya untuk memberikan pelajaran kepada Novel Baswedan yang dinilai telah melupakan institusi Polri.

“ Dalam pasal 355, terdakwa harus mempersiapkan untuk melukai orang, itu sudah termasuk ada niat dari awal. Sedangkan di fakta persidangan terdakwa tidak ada niat untuk melukai. Dalam fakta persidangan, terdakwa hanya ingin memberikan pelajaran kepada Novel Baswedan, alasannya dia lupa dengan institusi, menjalankan institusi..” beber JPU.

“ Kemudian ketika terdakwa ingin melakukan pembelajaran penyiraman ke badannya, ternyata mengenai mata, maka kemudian pasal yang tepat adalah di Pasal 353 perencanaan, penganiayaan yang mengakibatkan luka berat. Berbeda dengan (Pasal) 355, kalau 355 dari awal sudah menarget dan terdakwa lukai sasarannya. Sedangkan ini dia tidak ada untuk melukai…” imbuh JPU.

Indriyanto, mantan Plt Pimpinan KPK kepada wartawan, Selasa (16/6/2020) malam menyebutkan bahwa tinggi atau rendahnya tuntutan jaksa penuntut umum (JPU) terhadap suatu kasus berdasarkan fakta-fakta persidangan dan pengujian alat bukti yang dihadirkan di persidangan berdasarkan proses penyidikan di kepolisian.

JPU dalam menghadirkan saksi-saksi telah sesuai dengan berkas berita acara pemeriksaan (BAP) dari penyidik terhadap tersangka.

“ Dalam hukum, tinggi rendahnya tuntutan (jaksa) hanya didasarkan fakta Persidangan dari pengujian alat bukti….” Indriyanto.

Dalam persidangan, lanjut Indrianto, Majelis Hakim telah memberikan kebebasan dan kesempatan kepada masing-masing pihak seperti Penasehat Hukum, JPU, dan saksi-saksi untuk saling menghadirkan dan menguji alat bukti yang dimiliki.

Dengan demikian majelis hakim bisa memberikan penilaian secara objektif untuk memutuskan suatu perkara nantinya dalam pembacaan vonis atau putusan.

“ Majelis hakim di Pengadilan Negeri Jakarta Utara sudah memberikan kebebasan kepada stakeholder sistem peradilan pidana yakni JPU, Penasehat Hukum atau pengacara, saksi-saksi dan lain-lain untuk saling menguji alat bukti yang ada…” ungkapnya.

Tuntutan JPU yang hanya 1 tahun penjara kepada tedakwa yang dinilai merugikan Novel adalah suatu hal yang wajar jika menimbulkan pro dan kontra.

“ Wajar saja terjadi (soal tuntutan jaksa). Bahkan nantipun putusan hakim akan menjadi polemik bagi yang pro dan kontra dan menarik perhatian publik…” ujarnya.