NATUNA DIKLAIM CINA, TNI SIAGA TUNGGU MANUVER MENHAN PRABOWO SUBIANTO

Jatengtime.com-Jakarta-Pelanggaran Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) ditemukan pihak Indonesia, nelayan China pada tanggal 30 Desember 2019 yang diketahui mencari ikan secara ilegal dan coast guard China masuk ke perairan Natuna serta mengklaim sebagian perairan Natuna, sebagai wilayahnya langsung disikapi dengan tegas Pemerintah Indonesia.

Kemlu RI telah merilis siaran pers pada hari Rabu (1/1/2020) kemarin yang isinya adalah Indonesia menegaskan penolakannya terhadap klaim sepihak (unilateral) historis China di perairan Natuna.

Kemlu RI kemudian memanggil Duta Besar China di Jakarta dan menyampaikan protes keras terhadap pelanggaran kedaulatan negara. Nota diplomatik juga disampaikan ke China.

Kemlu RRC, Geng Shuang, telah menyampaikan tanggapan atas dipanggilnya Dubes RRC oleh Kemlu RI, juga atas nota keberatan RI ke China soal sengketa di Natuna. Menurut Geng, perairan di sekitar Kepulauan Nansha (Spratly Islands) masih menjadi milik China. Dubes China di Jakarta juga menegaskan itu ke Kemlu RI.

Menurut Juru Bicara Kemlu Cina, Coast Guard China justru sedang menjalankan tugasnya melakukan patroli dan menjaga wilayah tradisional penangkapan ikan nelayan China (traditional fishing right), dan China hendak menyelesaikan perselisihan ini secara bilateral.

Langkah koordinasi pun langsung disiapkan Menteri Pertahanan Prabowo Subianto demi menjaga kedaulatan teritorial NKRI.

Staf Khusus Bidang Komunikasi Publik dan Hubungan Antar-Lembaga Menteri Pertahanan RI, Dahnil Anzar Simanjuntak, Kamis (2/1/2020) kepada wartawan menyatakan sikap Prabowo terhadap perairan Natuna-Laut China Selatan harus dilakukan dan dituntaskan.

“ Sejalan dengan nota protes yang sudah dikirimkan oleh Menlu, dan menhan Prabowo sudah menyampaikan pada pertemuan ADMM di Bangkok, menyatakan bahwa pembicaraan code of conduct (CoC) terkait sengketa Laut China Selatan harus dilakukan dan dituntaskan…” kata Dahnil.

Pertemuan ADMM di Bangkok adalah pertemuan Menteri Pertahanan ASEAN pada 18 November 2019 dan Prabowo berpendapat masalah Natuna-Laut China Selatan harus diselesaikan lewat pembicaraan dua belah pihak.

“ Agar tidak mengganggu hubungan perdagangan dan diplomatik antar negara, termasuk dengan negara ASEAN lain. Tentu posisi Indonesia seperti yang telah disampaikan Menlu mempertahankan kedaulatan di Zona Ekonomi Eksklusif tersebut sebagai wilayah laut Indonesia. Beliau (Prabowo) akan berkoordinasi dengan Badan Keamanan Laut (Bakamla) dan TNI AL terkait hal tersebut…” ujar Dahnil.

Kepala Pusat Penerangan TNI Mayjen Sisriadi, Kamis (2/1/2020) kepada wartawan menegaskan TNI sudah meningkatkan kesiap siagaan terkait peraairan Natuna.

“ TNI meningkatkan kesiapsiagaan dengan cara meningkatkan sistem penginderaan dan sistem deteksi dini…kata Sisriadi.

Peningkatan kesiap-siagaan TNI meliputi telah disiagakan Alat Utama Sistem Persenjataan (alutsista) berupa kapal-kapal perang dan pesawat tempur di sekitar perairan Natuna untuk mengantisipasi insiden serupa terjadi lagi.

“ TNI juga menyiagakan alutsista matra laut dan matra udara yang sudah tergelar di sekitar perairan Natuna berdasarkan prinsip ‘economy of force‘ atau pengerahan secara ekonomis bila diperlukan, sesuai perkembangan situasi dan kebutuhan…” ujarnya.

TNI juga akan mengaktifkan Pusat Informasi Maritim, yang berlokasi di Markas Korps Armada RI I, Jakarta untuk mendeteksi dan identifikasi dini setiap pergerakan yang melanggar teritorial di laut NKRI.

“ Dalam waktu dekat TNI akan mengoperasikan Pusat Informasi Maritim, yang salah satu fungsinya adalah melakukan deteksi dan identifikasi setiap wahana laut yang masuk ke perairan kita…” tegasnya.

Terpisah, Guru Besar UI bidang Hukum Internasional, Prof Hikmahanto Juwana, Kamis (2/1/2020) ikut bereaksi dengan menyatakan Indonesia harus menolak rencana China hendak menyelesaikan perselisihan ini secara bilateral dengan empat alasan.

“ Rencana China tersebut harus ditolak oleh pemerintah Indonesia karena empat alasan…” kata Hikmahanto. ,” kata Hikmahanto.

Pertama, bila China tidak mengakui ZEE Indonesia di Natuna Utara, Indonesia juga harus tetap konsisten untuk tidak mengakui wilayah tradisional penagkapan ikan nelayan China.

Kedua, sikap Indonesia yang konsisten ini telah mendapat penegasan dari Permanent Court of Arbitration (PCA) dalam penyelesaian sengketa antara Filipina melawan China.
PCA tidak mengakui dasar klaim China atas 9 garis putus maupun konsep traditional fishing right.
Menurut PCA, dasar klaim yang dilakukan oleh pemerintah Cina tidak dikenal dalam UNCLOS karena Indonesia dan China adalah anggotanya.

Ketiga, Indonesia tidak mungkin bernegosiasi dengan China, karena masyarakat internasional tidak mengakui keabsahan 9 garis putus dan traditional fishing right yang diklaim oleh China.

“ Atas dasar sikap Indonesia ini, bagaimana mungkin Indonesia bernegosiasi dengan sebuah negara yang klaimnya tidak diakui oleh Indonesia…? Jangan sampai posisi yang sudah menguntungkan Indonesia dalam putusan PCA dirusak dengan suatu kesepakatan antar kedua negara. Ketergantungan Indonesia atas utang China tidak seharusnya dikompromikan dengan kesediaan pemerintah Indonesia untuk bernegosiasi dengan pemerintah China. Justru bila perlu Presiden mengulang kembali bentuk ketegasan Indonesia di tahun 2016 dengan mengadakan rapat terbatas di Kapal Perang Indonesia di Natuna Utara…” tegas Hikmahanto.

“ Terakhir, jangan sampai pemerintah Indonesia oleh publiknya dipersepsi telah menciderai politik luar negeri yang bebas aktif…” pungkasnya.