KPK : LELANG LPSE ‘ DIKONDISIKAN ’ AGAR KEPALA BASARNAS DAPAT FEE 10 % DARI PEMBORONG

Jatengtime.com-Jakarta-KPK mengungkap sistem lelang LPSE ( Layanan Pengadaan Secara Elektronik ) di Basarnas yang seharusnya bisa diakses oleh umum telah ‘dikondisikan’ Kepala Basarnas Marsdya Henri Alfiandi, agar tender proyek dimenangkan oleh pihak pemborong (Penyedia barang dan jasa) yang telah disepakati.

Lembaga anti rasuah ini telah menetapkan Kepala Basarnas Marsdya Henri Alfiandi sebagai tersangka kasus ‘Pengondisian’ LPSE tersebut sejak tahun 2021, diduga berkaitan dengan kesepakatan fee 10 persen atas jasa Henri.

Wakil Ketua KPK Alexander Marwata dalam konferensi pers di gedung KPK, Rabu (26/7/2023) menjelaskan Basarnas tahun 2023 kembali membuka tender proyek pengadaan sejumlah peralatan untuk pencarian dan pertolongan, antara lain :

– Pengadaan alat pendeteksi korban reruntuhan (Wreckage Detector) dengan pagu anggaran Rp 9,9 miliar.
– Pengadaan Peralatan Selam Keselamatan Umum (Public Safety Diving Equipment) dengan pagu anggaran Rp 17,4 miliar.
– Pengadaan kendaraan bawah air yang dikendalikan jarak jauh (Remotely Operated Vehicle/ ROV) untuk kapal SAR KN Ganesha dengan pagu anggaran Rp 89,9 miliar.

‘Pengondisian’ dimulai dengan pendekatan pribadi oleh 3 pemborong, yaitu : Marilya selaku Direktur Utama PT Intertekno Grafika Sejati, Roni Aidil selaku Direktur Utama PT Kindah Abadi Utama dan Mulsunadi Gunawan selaku Komisaris Utama PT Multi Grafika Cipta Sejati.

Ke 3 pemborong tersebut kemudian melakukan kerjasama ‘Pengondisian’ LPSE dengan kepala Basarnas Marsdya Henri Alfiandi selaku PPK (Pejabat Pembuat Komitmen) dan Letkol Afri Budi Cahyanto selaku Koorsmin Kabasarnas yang ternyata orang kepercayaan Henri.

Langkah selanjutnya, 3 pemborong disebut memasukkan penawaran mendekati HPS (Harga Perkiraan Sendiri) masing-masing proyek seperti yang tertera di dalam LPSE.

“ Dalam pertemuan ini, diduga terjadi deal pemberian sejumlah uang berupa fee sebesar 10 persen dari nilai kontrak. Penentuan besaran fee dimaksud, diduga ditentukan langsung oleh HA (Henri Alfiandi)…” kata Alexander.

“ Mengenai desain dan pola pengondisian pemenang tender di internal Basarnas sebagaimana perintah HA di antaranya sebagai berikut, MG (Mulsunadi Gunawan) MR (Marilya) dan RA (Roni Aidil) melakukan kontak langsung dengan PPK Satker terkait. Nilai penawaran yang dimasukkan hampir semuanya mendekati nilai HPS…” ujarnya.

“ Proses lelang itu hanya formalitas. Bagaimana koq bisa padahal sudah menggunakan e-procurement…? Ternyata memang bisa. Sistem apa pun yang dibangun, ketika dilakukan persekongkolan maka jebol juga sistem itu. Bisa saja dalam beberapa kasus, perusahaan ditunjuk atau disepakati nanti memenangi lelang, dia menggunakan perusahaan pendamping, yang sudah bersekongkol juga atau perusahaan pendamping juga dimiliki orang yang sama yang nanti memenangkan lelang…” imbuhnya.

KPK bakal memakai metode audit forensik dan digital forensic

Alexander menambahkan, proses lelang elektronik itu biasanya diikuti perusahaan atau pemborong yang sudah diatur. Dokumen yang dimasukkan ke sistem lelang LPSE juga biasanya diunggah lewat komputer yang sama.

“ Nanti semua akan terungkap di dalam audit forensik, digital forensic pasti akan terungkap…” pungkasnya.

Audit forensik dan digital forensic biasanya digunakan untuk mengungkap kejahatan korupsi yang diurai secara komprehensif dengan menggunakan teori Criminological Verstehen. Perilaku kejahatan korupsi dipelajari dan diurai menggunakan teori Differential Association, sedangkan profil pelaku korupsi dianalisa menggunakan teori White Collar Crime.
Untuk mengungkap korupsi juga dipakai teknik analisis intelijen dalam audit investigasi dengan pendekatan teori prisma kejahatan yang menjelaskan bahwa kejahatan korupsi sifatnya tersembunyi atau berada di prisma bagian bawah yang diketahui dengan penelitian dengan metode kualitatif 3 tahap yaitu : studi pustaka, wawancara serta delphi.

Kepala Basarnas Marsdya Henri Alfiandi dan Letkol Afri Budi Cahyanto diduga telah menerima suap Rp 999,7 juta dari Mulsunadi dan Rp 4,1 miliar dari Roni. Selain itu, mereka diduga juga telah menerima suap dari sejumlah vendor dengan total Rp 88,3 miliar sejak 2021 hingga 2023.