SRI MULYANI TANGGAPI DINGIN, KEMARAHAN PRESIDEN AMERIKA TERKAIT PAJAK PRODUK JASA DIGITAL

Jatengtime.com-Jakarta-Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, dalam video conferenceJakarta, Rabu (3/6/2020), dingin menanggapi pernyataan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Jhon Trump yang marah gara-gara layanan jasa digital asal negaranya bakal dikenakan pajak pertambahan nilai (PPN) di sejumlah negara.

“ Jadi tentang pajak digital saya nggak mau jawab dulu. Nanti yang jadi headline malah pajak subsidi…” kata Sri Mulyani.

Trump terkesan arogan dan tidak peduli dengan kedaulatan sebuah negara dalam menentukan kebijakan

Presiden Donald Trump (yang pernah mengeluarkan kebijakan mengenakan tarif impor dan memicu perang dagang dengan Cina) terkesan arogan dan tidak peduli dengan kedaulatan sebuah negara dalam menentukan kebijakan sendiri termasuk pajak.

Saat ini Trump sedang mempelajari pemberlakuan pajak layanan digital oleh sejumlah negara untuk perusahaan asal Amerika Serikat (AS).

Saat ini ada beberapa negara yang sedang mempertimbangkan pajak layanan digital antara lain Austria, Brasil, Republik Ceko, Uni Eropa, India, Indonesia, Italia, Spanyol, Turki, dan Inggris.

Bahkan dalam keterangan Federal Register yang dikutip Reuters, United States Trade Representative (USTR) atau badan pemerintah Amerika Serikat yang bertanggung jawab untuk mengembangkan dan merekomendasikan kebijakan perdagangan Amerika Serikat kepada presiden, menyebutkan pemerintah AS akan menyelidiki rencana-rencana tersebut.

Pengumuman tersebut dikeluarkan setelah USTR akan melakukan penyelidikan terkait impor vanadium (yang digunakan sebagai katalis dalam pembuatan asam sulfat, anhidrida maleat dan pembuatan keramik) yang menurut Trump telah mengusik keamanan nasional.

Pemerintahan Trump sedang aktif meningkatkan ketegangan “ berperang “ sejak dua tahun dengan Cina karena kekayaan intelektual teknologi. Keduanya sama-sama memberlakukan tarif impor untuk menekan kegiatan dagang, walaupun sedang dilanda pandemi COVID-19.

Perwakilan Dagang USTR mengaku telah mengajukan permohonan konsultasi dengan pemerintah negara tersebut.

Perwakilan Dagang AS Robert Lighthizer, Rabu (3/6/2020) waktu setempat berdalih pemberlakuan pajak layanan digital ini akan berpotensi meningkatkan ketegangan dagang antarnegara karena pemungutan pajak oleh pemerintah tersebut bertujuan meningkatkan pendapatan negara. Misalnya pajak dari Facebook dan Google (Alphabet Inc).

“ Presiden Trump khawatir akan banyak mitra dagang kami yang akan menggunakan skema pemungutan pajak yang tidak adil untuk perusahaan kami (asal AS)…” kata Lighthizer.

Lighthizer juga menegaskan pemerintah AS juga siap mengambil tindakan dan melindungi perusahaan termasuk karyawanya.

“ Kami siap ambil tindakan yang sesuai untuk membela bisnis dan pekerja kami jika diskriminasi (?) tersebut dilakukan…” ngkapnya.

Sebagai informasi, Pemerintah Indonesia melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 48 Tahun 2020 sebagai aturan turunan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1/2020. PMK.

PMK tersebut akan menjadi dasar pemungutan, penyetoran, dan pelaporan PPN atas produk digital yang berasal dari luar negeri oleh pelaku usaha PMSE, yaitu pedagang/penyedia jasa luar negeri, penyelenggara PMSE luar negeri, atau penyelenggara PMSE dalam negeri yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan melalui Dirjen Pajak.

Sedangkan keputusan perusahaan digital berbasis internasional menjadi pemungut, penyetor, dan pelapor PPN tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 48 Tahun 2020 teesebut.

Beleid (kebijakan) PMK Nomor 1/2020 tersebut mulai berlaku pada 1 Juli 2020, namun pelaksanaannya harus menunggu penunjukan perusahaan penyedia barang/jasa di luar negeri sebagai pemungut PPN.

Melalui PMK Nomor 1/2020, dan mungkin juga berlaku di beberapa negara, produk digital seperti layanan aliran (Streaming), baik musik dan film, aplikasi dan permainan (games) digital, serta jasa daring lainnya dari luar negeri yang memiliki kehadiran ekonomi signifikan dan telah mengambil manfaat ekonomi dari Indonesia melalui transaksi perdagangannya, akan diperlakukan sama seperti produk konvensional atau produk digital sejenis dari dalam negeri.

Dengan demikian, dapat diartikan aplikasi seperti Netflix, Spotify, Zoom, dan lainnya akan dikenai pajak, sedangkan perusahaannya bisa menjadi pemungut, penyetor, dan pelapor PPN.