GARDA PEMBELA PANCASILA GELAR AKSI DAMAI TOLAK RUU P-KS di DPRD SURAKARTA

Jatengtime.com-Surakarta-Ratusan Mahasiswa dari berbagai kampus di Surakarta yang tergabung dalam Aliansi Garda Pembela Pancasila, Kamis 26 September 2019 pukul 13.00 WIB melakukan aksi damai  penolakan RUU P-KS ( Penghapusan Kekerasan Seksual ) di depan kantor DPRD Kota Surakarta, atas dasar menjaga Ideologi Pancasila di Indonesia.

RUU P-KS yang telah diusulkan “ sejak tahun 2015 “ masuk dalam Prolegnas ini sarat dengan nilai Liberalisme yang mengabaikan Pancasila, ketahanan keluarga, agama, dan moralitas bangsa Indonesia.

Pandangan Aliansi Garda Pembela Pancasila diturunkan dalam poin – poin berikut :

– Pertama, RUU P-KS dengan sengaja mengabaikan falsafah Pancasila dan UUD RI1945 seraya mengambil falsafah feminisme sehingga tema ” kekerasan seksual ” mengandung kekeliruan yang sangat fatal dalan merumuskan ” siapa korban dalam pelanggaran dan/ atau perbuatan kriminal pada nilai kesusilaan.
RUU P-KS pun mengabaikan konteks dimana “ seseorang dapat saja merupakan pelaku kenakalan atau kejahatan seksual sebelum menjadi korban. Seharusnya pemberantasan terhadap pelanggaran dan/ perbuatan kriminal pada nilai kesusilaan dalam masyarakat mempertimbangkan akar dari adanya kekerasan seksual yaitu kebobrokan moral dan rentannya ketahanan keluarga.

– Kedua, RUU P-KS memuat kata-kata “ ambigu “ yang berbahaya dalam penafsiran hukumya diantara sebagai berikut : hasrat seksual, relasi kuasa, relasi gender, korporasi, situasi khusus lainnya, dan perbudakan seksual, dan masih banyak lagi.
Sebagai contoh pemilihan frasa pemaksaan aborsi dalam RUU ini menjadi ambigu karena didalamnya dapat mengandung makna hanya berlaku bagi pelaku yang memaksa sedangkan tanpa melalui paksaan tidak berlaku hukum tersebut. Hal ini berdampak pada maraknya kasus aborsi akibat free sex yang terjadi.

– Ketiga, yang paling mencengangkan adalah Pasal 136 RUU P-KS menyebutkan bahwa “ korporasi dapat dipidana ganti rugi kerugian karena melakukan kekerasan seksual ”.
Persoalannya, korporasi yang dimaksud di dalam RUU P-KS adalah sekumpulan orang dan/ atau kekayaan yang terorganisasi baik berbadan hukum maupun bukan berbadan hukum.
Padahal korporasi dalam hukum bisnis sudah pasti berbadan hukum.
Tidak ada korporasi berbadan hukum yang secara sengaja didirikan untuk melakukan perbuatan kriminal pada nilai kesusilaan karena menyalahi kausa halal dalam hukum perdata Indonesia.
Korporasi yang sesuai dengan definisi dalam RUU P-KS tersebut paling mungkin diimplementasikan pada industri gelap seperti prostitusi.
Sehingga penafsiran hukum atas Pasal 136 sangat logis diterapkan sebagai perlindungan bagi para pelacur yang bekerja di ” korporasi “.
Dalam hal kasus demikian menjadi preseden peradilan, bukan tidak mungkin Indonesia digiring untuk melegalkan industri perzinahan melalui RUU ini.

– Keempat, RUU P-KS mengabaikan ketahanan keluarga.
RUU P-KS hanya melihat kejadian pelanggaran dan/ atau perbuatan kriminal pada nilai kesusilaan sebagai peristiwa hukum yang terpisah dari struktur ketatamasyarakatan organik Indonesia.
Pengabaian terhadap institusi keluarga turut pula menafikan nilai-nilai kehidupan yang berakar urat dalam masyarakat Indonesia.

– Kelima,  RUU P-KS berpotensi menyuburkan penyimpangan seksual ( LGBT ) dan perzinaan. Bertolak belakang dengan jangkauan penegakan hukumnya yang begitu luas pada aspek pencegahan, pemidanaan, peradilan, dan pemulihan, RUU P-KS sengaja menyempitkan materi pengaturan pada kekerasan seksual.
Sehingga sistem hukum yang terkait pelanggaran dan/ atau perbuatan kriminal pada nilai kesusilaan hanya akan menyempit pada perspektif kekerasan seksual. Konsep sistem hukum yang dimuat dalam RUU P-KS meniadakan konsep “ kausa halal ” karena unsur “ paksaan ” menjadi variabel utama dalam mendefinisikan telah terjadinya perbuatan kriminal pada kesusilaan. RUU P-KS pada keseluruhannya akan mengacaukan penafsiran hukum atas perbuatan yang halal dan tidak halal menurut hukum.
Dalam hal pelacuran dengan paksaan maka tidak diperbolehkan, dalam hal pelacuran tidak paksaan maka diperbolehkan.

-Keenam,  P-KS memuat aspek pendidikan yang berbahaya bagi generasi masa depan bangsa.
Konsep bobrok yang tergambarkan sebagaimana di atas merupakan bahan kurikulum pendidikan yang pada kelanjutannya harus dimuat di bawah RUU P-KS.
Kurikulum pendidikan dalam konteks kekerasan seksual ini sangat berbahaya karena tidak mempersoalkan mana perbuatan seksualitas yang dibenarkan dan tidak dapat dibenarkan karena hanya bertumpu pada keberadaan “ persetujuan ” yang dipisahkan dari tuntunan agama dan moral.

Dengan adanya keresahan pasal multitafsir yang berdampak fatal di masa depan, masa aksi menuntut untuk menolak pengesahan RUU P-KS dan mendesak PANJA ( Panitia Kerja ) RUU P-KS di komisi 8 DPR RI untuk meniadakan pembahasan RUU P-KS melalui DPRD Surakarta.

Perwakilan masa aksi melakukan berorasi menyampaikan aspirasi kemudian tiga puluh orang perwakilan diizinkan memasuki gedung DPRD untuk melakukan audiensi.

Pihak DPRD diwakili oleh Jugo Agung Ruwanto ( F-PDIP ), Achmad Sapari ( F-PAN ), Taufiqurrahman ( F-Golkar ), dan Didik Hermawan ( F-PKS ) sepakat untuk menyampaikan aspirasi warga Surakarta dalam wadah Aliansi Garda Pembela Pancasila ke tingkat provinsi untuk dilanjutkan ke DPR RI melalui surat pengantar dari masing-masing fraksi di DPRD.

Achmad Sapari, anggota DPRD F-PAN menyampikan apresiasi kepada mahasiswa yang melakukan aksi damai, beliau juga menambahkan masyarakat bebas menyampaikan aspirasi dengan etika di ruangan gedung DPRD.

Agil Setiawan selaku koordinator aksi menegaskan dan berharap DPRD Surakarta segera bertindak cepat karena banyak masyarakat yang belum menyadari dan memahami kebobrokan RUU ini.

“ Kami berharap anggota DPRD amanah dalam menyampaikan aspirasi yang menjadi keresahan bersama. Beberapa hari lalu sejumlah masa pun melakukan demonstrasi dengan salah satu tuntutannya adalah Sahkan RUU P-KS karena banyak masyarakat yang belum menyadari dan memahami kebobrokan RUU ini…“ ujar Agil.

Aksi yang dilakukan warga yang penuh peradaban budaya santun dan menghormati sesama dalam wadah kultur “ wong Solo “ pada siang hari itu belangsung damai dan ditutup dengan doa bersama kemudian masa aksi meninggalkan lokasi gedung DPRD Surakarta dengan tertib ( Widyo ).